OPINI - "Aku akan mati dalam keadaan tak bersalah terhadap semua tuntutan yang diarahkan padaku"_. Aku memaafkan semua yang bertanggungjawab dalam kematianku. Diujung kematiannya masih membela diri.
Aku berdoa pada Tuhan supaya darah yang akan tumpah ini tidak akan pernah menodai negeri Prancis", kata Raja Louis XVI sesaat sebelum dipenggal kepalanya. Raja Louis masih hendak melanjutkan pidatonya, namun suara drum memotongnya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Gagal Dipukul, Anies Dirangkul
|
Tepat pukul 10:22 pagi, di 21 Januari 1793, sang algojo mengayunkan pedangnya dan sang raja pun mati. Si pembantu algojo mengambil kepala raja yang berdarah-darah dan mengangkatnya supaya bisa dilihat orang-orang.
Itu adalah makna awal konstitusi _"hak Rakyat memenggal kepala Raja"_. Beberapa orang di kerumunan menyahut _"Hidup Negeri ini - Hidup Republik"_ Lalu beberapa tembakan meletus.
Badan sang raja, termasuk kepalanya, dipindahkan dengan kereta ke pemakaman Madeleine. Setelah upacara keagamaan singkat. Tubuh Louis dilempar ke kuburan yang dalam dengan alas kapur. Kepalanya diletakkan di sebelah kakinya.
Kuburannya lalu diisi dengan tanah dan ditutup dengan lapisan kapur. Pada Januari 1815, sisa-sisa tubuh Louis XVI dan kepalanya dipindahkan ke Basilika Santo Denis.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Kasus raja dipenggal kepalanya tidak hanya jadi cerita di Eropa. Di Asia, tepatnya di Kerajaan Wajo Sulawesi Selatan, misalnya, juga ada raja dipenggal lehernya lantaran perbuatannya yang menyakiti rakyat.
Monarki despotis Athena tumbang menyedihkan karena ia berkuasa di punggung harimau. Rakyat Athena tak terima itu dan itulah awal kelahiran demokrasi.
Apa belum cukup pelajaran dari Soekarno dan Soeharto dimana keduanya memiliki jasa besar tapi tetap saja harus terhina diujung hidupnya.
Tuhan menawari langit dan bumi, serta malaikat untuk berkuasa tapi semua menolak. Mengapa ada manusia yang berani berebut kekuasaan?
Jangan pernah berpikir sedikit pun bahwa rakyat dalam monocratein (monarki), otocratein (teokrasi dan aristokrasi), dan democratein (demokrasi) tak ada artinya. Semua sudah terbukti bahwa penguasa yang berkuasa di punggung harimau ia akan jatuh menyedihkan.
Rakyat teriak antri minyak goreng, teriak harga daging mahal, teriak harga beras mahal. Kok tega sekali penguasa bilang, "silahkan merebus pisang , silahkan makan keong sawah, silahkan makan ubi, silahkan masak Enceng gondok.
Dosa apa lagi yang lebih besar jika rakyat dibuat miskin (kemiskinan struktural) lalu kalau mereka teriak ditanggapi dengan hinaan. Belum sadar kalau itu menghina Tuhan?. Apa mengira Tuhan tinggal diam melihat FirmanNya dihina?
Jakarta, 17 Oktober 2023
DR. Muljadi Opu A Tadampali
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa